![]() |
Artis saja pakai parfum FM, masa Anda ngak? |
PII.III.1.IMUNISASI
PADA BAYI DAN ANAK BERISIKO
Diketik ulang dari PEDOMAN IMUNISASI DI INDONESIA, yang
ditulis oleh SYAWITRI P. SIREGAR
Pada bayi dan anak yg mempunyai risiko tinggi untuk
mendapatkan infeksi, harus iimunisasi berdasarkan prioritas.
Misalanya pada bayi dan anak yg menderita imunokompromais,
transplantasi sumsum tulang/ organ dan splenektomi serta bayi prematur,
imunisasi harus diatur.
PASIEN IMUNOKOMPROMAIS
Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada
penyakit defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat
(sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama,
penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan
alkilating agents, antimetabolik radioterapi, bayi/ anak menderita HIV dan
transplantasi sumsum tulang.
DEFISIENSI IMUN PRIMER
Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer
selular dan kombinasi defisiensi keduanya seperti penyakit X-linked
agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, Ataxia telangiectasia dan sindrom
di George, kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup.
Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin
spesifik atau dengan IgIV.
Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin
baik hidup ataupun vaksin kuman mati/ dilemahkan sedangkan pada defisiensi
fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis tidak boleh diberikan vaksin
bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi thd penyakit influenza dan
pneumokokus.
Defisiensi imun sekunder, terjadi pada anak yg mendapat:
1.Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau
lebih dari 20mg sehari atau 2mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan>7 hari atau
dosis 1mg/kgBB/hari lama pengobatan>1bulan.
2.Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan
radioterapi. Untuk penyakit keganasan
seperti leukemia, dan limfoma.
Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh
diberikan imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman/
virus akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya.
Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG.
Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan
setelah penghentian pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.
Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yg dilemahkan
dapat segera diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza dan
Hib, dosis sama dengan anak sehat.
Respon imun yg timbul tidak sama dengan anak sehat sehingga
bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif dengan normal
immunoglobulin (human) NigH dosis 0,2ml/kgBB intramuskular.
Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0ml/kgBB,
bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan
varicella-zoster immunoglobulin (VZIg), namun pada saat ini belum ada di
Indonesia.
PENGORBATAN KORTIKOSTEROID
Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal
atau obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal, intra
artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yg diberikan setiap hari atau selang
sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.
Sedangkan pada pasien yg mendapat kortikosteroid sistemik
dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14
hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin hidup segera setelah pengobatan,
namun ada pendapat yg menganjurkan setelah penghentian 14 hari.
Pada pasien yg mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi
setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan dapat
diberikan vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan.
Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yg
telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan dengan
pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primer dalam
remisi atau sudah dapat dikontrol.
Keluarga pasien imunokompromais yg kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk mendapatkan
vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR.
Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga
imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus
varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan daripada bila infeksi alamiah
yg akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.
Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam
keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup
varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela keadaannya
dapat fatal.
Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yg didapat, imunisasi tidak akan
memberikan respons maksimal yg diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer
antibodi serum setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian
imunisasi berikutnya.
INFEKSI HUMAN IMMUNODEFISIENSI VIRUS (HIV)
Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan
infeksi sehingga diperlukan imunisasi walaupun responsnya terhadap imunisasi
kurang optimal.
Yang menjadi pertanyaan, kapan pasien HIV harus diberikan
imunisasi?
Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna
karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun
apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistem imun yg dapat
meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV.
Organisasi WHO menganjurkan pemberian imunisasi rutin untuk anak
HIV yg belum ada gejala (asimptomatik HIV), kecuali BCG tidak diberikan.
Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yg
dilemahkan atau yg mati.
Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada anak dengan
HIV (+).
Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3
kali dengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai
risiko tinggi maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2
bulan dan dilanjutkan dengna imunisasi ke-3 memakai vaksin pneumokok
Polisakarida PCV23
Asimptomatik HIV: BCG tidak diberikan
Simptomatik HIV: BCG tidak diberikan, IPV menggantikan OPV
MMR tidak pada imun supresi
berat, sel T CD4+ <15%
PENYAKIT HODGKIN
Pasien penyakit Hodgkin yg
berumur lebih dari 24 bulan dan orang dewasa (close contact) dianjurkan
mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena pasien berisiko thd kedua penyakit
tsb.
Respons antibodi paling baik bila
imunisasi diberikan 10-14 hari sebelum dilakukan imunoterapi.
Apabila diberikan bersama dengan
imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah
kemoterapi atau radioterapi dihentikan
Pada spelenektomi dianjurkan
untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa.
Pemberian profilaksis antibiotik
dengan penisilin dianjurkan untuk penderita anemi sickle cell, thalasemia untk
melindungi thd infeksi pneumokok.
Dosis yg dianjurkan 2x125mg
sehari untk anak yg kurang dari 5 tahun dan 2x250mg sehari untuk anak>5
tahun.
Dapat juga profilaksis dg
amoksilin 20mg/kg sehari.
Harus dijelaskan kepada orang tua
bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis antibiotik masih dapat menderita
infeksi oleh kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindari sepsis.
Pada pasien keganasan seperti
leukemia dan limfoma sebelum memulai pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya
diberikan dahulu imunisasi.
PASIEN TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG (TST)
Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan
menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen:
1.Pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer
2.Kemoterapi dan radioterapi yg diberikan pada pejamu
3.Reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu
4.Pengobatan imunosupresi yg diberikan setelah transplantasi
Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otolog hanya
komponen 1 & 2 yg berperan.
Rekomendasi yg dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum
tulang tampak pada tabel 3.3.
Pada TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh
sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien
diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah
transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus dan difteri hampir tidak
ada.
Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan
imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan, kemudian segera
setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yg sama akan
memberikan respons yg baik.
Hal yg sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis,
Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah
transplantasi dan diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba.
Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi.
Pasien berumur di atas 12 tahun yg akan mendapat organ
transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela
dan varisela.
Mereka yg beresiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR
sebelum transplantasi dilakukan.
Titer antibodi setelah setahun transplantasi sebaiknya
diperiksa.
Pada mereka yg rentan infeksi bila kontak dengan pasien
campak, varisela dan rubela sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan
imunoglobulin dan bila mungkin titer antibodi diperiksa terlebih dahulu.
Karena hanya sedikit data mengenai imunisasi pada pasien
transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yg berbeda.
Vaksin DPT (Transplantasi SST alogenik (Ya)) (Transplantasi
SST otologus (Ya)): 2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasi.
Polio (IPV) (Transplantasi SST alogenik (Ya)) (Transplantasi
SST otologus (Ya)): 2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasi.
Campak (Transplantasi SST alogenik (Epidemik campak))
(Transplantasi SST otologus (Hanya pada penderita anak)): Tidak diberikan dalam
24 bulan setelah transplantasi. Tidak
pada GVHD. Terutama wanita.
Rubela: (Transplantasi SST alogenik (Ya)) (Transplantasi SST
otologus (Ya)): 2 dosis mulai 6-12 bulan setelah transplantasi
Hib: (Transplantasi SST alogenik (Ya)) (Transplantasi SST otologus
(Ya)): 12 bulan setelah transplantasi.
Hasil tidak baik pada GVHD.
Hepatitis B: (Transplantasi SST alogenik (Ya))
(Transplantasi SST otologus (Ya)): Tidak dalam masa 24 bulan setelah
transplantasi. Tidak pada GVHD
Pneumokok: (Transplantasi SST alogenik (Ya)) (Transplantasi
SST otologus (?))
Varisela: (Transplantasi SST alogenik (Tidak))
(Transplantasi SST otologus (Anak dan dewas muda))
TST = Transplantasi Sumsum Tulang
GVHD = Graft Versus Host Disease.
BAYI PREMATUR DAN BERAT LAHIR RENDAH
Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur
kronologisnya dengan dosis dan jadwal yg sama dengan bayi cukup bulan.
Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada umur 2
bulan.
Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya
diberikan IPV, bila akan diberikan OPV sebaiknya ditunda sampai saat bayi akan
dipulangkan dari rumah sakit/ rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran
virus polio kepda bayi lain yg sedang dirawat.
Pada bayi prematur respons imun kurang bila dibandingkan
bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis
B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut:
*Ibu positif HbsAg, berat lahir>2000g: harus diberikan
hepatitis B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yg berlainan dalam waktu 12
jam.
Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan ke-4
diberikan umur 6 dan 12 bulan.
Periksa titer anti-HBs dan HBsAg padaumur 9-15 bulan.
Bila HBsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HBs.
*Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000g: bayi harud
diberikan HepB +HBIg pada 2 tempat suntikan yg berlainan dalam waktu 12jam.
Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan dalam umur 1
bulan dan berat badan mencapai 2000g, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan
umur kronlogis.
Periksa anti HBs dan HBsAg pada umur 9-15 bulan.
Bila HBsAg dan antiHBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HBsAg dan antiHBS
Ibu negatif HBsAg, berat lahir > 2000g: pemberian imunisasi hepatitis B
dosis pertama saat lahir, selanjut umur 1 dan 6 bulan umur kronologis.
Ibu HBsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama
saat berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya stabil
dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari.
Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4
bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.
Ibu tidak diketahui status HBsAg, berat lahir > 2000g:
diberikan vaksin HepB dalam 12 jam.
Periksa HBsAg ibu segera.
Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu 7 hari.
Ibu tidak diketahui status HBsAg, berat lahir <2000g:
diberikan vaksin hepatitis B.
Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam
12 jam, berikan HBIg dalam 12jam.
Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan
DTP, DTaP (DTP/HepB).
Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis
setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi
pertama pada bayi prematur.
IMUNISASI PADA ANAK DENGAN PENYAKIT KRONIS
Anaka dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi sehingga
harus diberikan imunisasi seperti anak sehat kecuali sudah terjadi defisiensi
imun sekunder.
Sangat dianjurkan untuk imunisasi terhadap influenza dan
pneumokokus.
Tabel 3.4 Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi
Paparan infeksi: Campak; Inkubasi: 8-12 hari, pemberian
vaksinasi: 0-3 hari paparan.
Paparan infeksi: Varisela; Inkubasi: 14-16 hari, pemberian
vaksinasi: 0-3 hari paparan.
Paparan infeksi: Rubela; Inkubasi: 14-23 hari, pemberian vaksinasi:
tidak perlu.
Paparan infeksi: Gondongan; Inkubasi: 12-25 hari, pemberian
vaksinasi: tidak perlu.
Paparan infeksi: Hepatitis B; Inkubasi: 14-160 hari,
pemberian vaksinasi: perlu aktif dan pasif segera dalam 12 jam.
Paparan infeksi: Tetanus; Inkubasi: 24 jam – beberapa bulan,
pemberian vaksinasi: perlu aktif dan pasif.
Paparan infeksi: Hepatitis A; Inkubasi: 15-50 hari,
pemberian vaksinasi: tidak perlu.
VAKSINASI PADA ANAK DENGAN REAKSI EFEK SAMPING
Pada anak yg pernah menderita reaksi efek samping yg serius
setelah imunisasi, imunisasi berikutnya harus di rumah sakit dengan pengawasan
dokter.
AIR SUSU IBU DAN IMUNISASI
Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yg sedang menyusui
bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan bakteri atau virus hidup dan kuman
yg dilemahkan.
Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi
untuk mendapatkan imunisasi.