Rabu, 30 September 2015

PII.1.3 ASPEK IMUNOLOGI IMUNISASI

Mau Beli Parfum atau Jualan Juga?

PII.1.3 ASPEK IMUNOLOGI IMUNISASI


Diketik ulang oleh Federico Mahora dari PEDOMAN IMUNISASI DI INDONESIA 2011, bab I.3 karya Prof. Dr. Corry Matondang, SpA (K)

Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit.
Kekebalan yg diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif.

Imunisasi yg diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif dengan memberikan antibodi atau faktor kekebalan pada seseorang yg membutuhkan.
Contohnya adalah pemberian imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin antitetanus untuk penderita penyakit tetanus.
Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh, seperti misalnya pada kekebalan pasif alamiah antibodi yg diperoleh janin dari ibu akan perlahan menurun dan habis.

Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi.
Imunisasi yg diberikan unuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yg disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi.
Kekebalan yg diperoleh dengan vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yg terjadi karena infeksi alamiah.
Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yg efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yg telah ditentukan oleh produsen vaksin melalui bukti uji klinis yg telah dilakukan.

TUJUAN IMUNISASI
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut apda sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti yg kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola.
Keadaan yg terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yg hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria dan poliomielitis.

RESPONS IMUN
Respons imun adalah respons sistem pertahanan tubuh berupa urutan kejadian yg kompleks terhadap stimulasi antigen (Ag)yg bertujuan untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Pada dasarnya sistem pertahana tubuh dibedakan dalam sistem imun nonspesifik dan spesifik.
Sistem imun nonspesifik disebut juga imunitas nonadaptif atau innate immunity, artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen tetapi untuk berbagai macam antigen.
Sistem imun spesifik atau imunitas adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen.
Imunitas adaptif akan membangjn memori imunologis dengan membentuk sel memori sehingga pada kontak berikutnya dengan antigen yg sama akan memproduksi antibodi lebih cepat dan lebih banyak.

Jalur aktivasi respons imun spesifik terdiri dari 2 fase, yaitu fase afektor dan efektor.
Fase afektor atau pengenalan diperankan oleh sel yg mempresentasikan antigen (APC), serta sel limfosit B dan limfosit T afektor yg diaktivasi oleh antigen.
Fase efektor diperankan oleh antibodi imunoglobulin produk sel limfosit B dan limfosit T efektor yg telah teraktivasi.

Bila pada kontak pertama pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yg pertama kali dikenal oleh sistem imun akan ditangkap oleh sel makrofag yg merupakan komponen imunitas nonspesifik dan dipresentasikan pada sel limfosit T dan limfosit B yg merupakan komponen imunitas spesifik.
Sel makrofag yg mempresentasikan antigen pada sel limfosit disebut  sebagai sel APC (antigen-presenting cell).

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri dari imunitas selular dan imunitas humoral.
Imunitas selular diperankan oleh kelompok sel limfosit T yg merupakan sentral dari seluruh respons imun tubuh.
Sel limfosit T memproduksi sitokin dan mediator setelah teraktivasi oleh stimulasi antigen.
Imunitas humoral merupakan aktivitas sel limfosit B yg menghasilkan antibodi berupa imunoglobulin (Ig).
Imunoglobulin dibentuk oleh sel limfosit B oleh stimulasi antigen yg mengaktivasi sel limfosit T terlebih dahulu (T-dependent antigen), atau secara langsung oleh antigen tanpa melalui aktivasi sel limfosit T (T-independent antigen).
Imunoglobulin dapat dipindahkan kepada individul lain melalui imunisasi pasif dengan cara penyuntikan serum.
Imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui transfer selular seperti contohnya pada transplantasi organ yg menimbulkan reaksi GRAFT VERSUS-HOST-DISEASE.

KUALITAS RESPONS IMUN
Kualitas respons imun yg timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor lain seperti,
-Jumlah dan dosis antigen.
-Cara pemberian antigen.
-Pada pemberian secara intradermal (ID), intramuskular (IM), subkutan (SC) organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional, sedangkan pemberian intravena (IV) sasaran berada di limpa, pemberian secara orang, pemberiaan secara oral akan plaque Peyer’s, dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid bronkial.
-Penambahan zat yg bekerja sinergis dengan antigen misalnya konjugat, ajuvan, atau antigen lain.
-Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya.
-Faktor genetik pejamu.

RESPONS IMUN SELULAR
Respons imun selular diperankan oleh populasi sel limfosit Th (T-helper, CD4) dan limfosit Tc (T-cytotoxic, CD8).
Kelompok sel Th terdiri dari subpopulasi Th1 dan Th2.
Sel Th memerankan peran sentral dalam respons imun, dan bila teraktivasi oleh antigen akan menginduksi aktivitas seluruh komponen sistem imun.
Mekanisme induksi membutuhkan komunikasi antar sel yg diperankan oleh sitokin, suatu produk sel imun yg teraktivasi oleh antigen.
Produk sitokin tersebut dapat membedakan subpopulasi Th1 dan Th2.
Misalnya Th1 menghasilkan sitokin IL-2, IL-3, TNF-alpha dan Th2 menghasilkan sitokin IL-4,IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13.
Sitokin Th1 menginduksi respons imun selular yg berperan pada reaksi inflamasi pada penyakit infeksi, sepsis, dan reaksi hipersensitivias tipe lambat.
Sitokin Th2 menginduksi respons imun humoral yg menghasilkan imunoglobulin dan berperan pada inflamasi alergi.
Sel Tc dan sel Th berperan pada infeksi yg disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan beberapa bakteri.
Sel imun selular yg sudah mengenal antigen mikroorganisme penyebab infeksi akan bereaksi secara spesifik.
Sel Th mengeluarkan sitokin untuk mengaktivasi proses inflamasi yg bertujuan untuk mengeliminasi mikroorganisme.
Komponen sistem imun terpenting untuk tujuan tersebut adalah imunitas humoral sehingga peran utama sel Th adalah membantu sel limfosit B menghasilkan imunoglobulin.

Sel Th juga menginduksi sel Tc untuk bereaksi terhadap antigen pada sel target.
Sel Tc mengenal struktur antigen tersebut yg dipresentasikan bersama molekul MHC (Mayor Histocompatibility Complex) kelas I oleh APC.
Dengan induksi sel Th maka sel Tc akan melisis sel terinfeksi yg mengekspresikan struktur antigen penyebab infeksi yg telah dikenalnya.
Karena fungsi untuk melisis sel target tersebut maka sel Tc disebut juga sebagai sel Cytotoxic T Lymphocyte (CTL).

Umumnya antigen bersifat T-dependent (TD), artinya antigen akan merangsang sel imun afektor setelah mengaktivasi sel Th dengan  bantuan sitokin dan mediator yg dilepaskan sel Th yg teraktivasi tersebut.
Sedangkan antigen yg tidak memerlukan sel T (TI) secara langsung merangsang sel limfosit B memproduksi imunoglobulin.
Antigen TD adalah antigen yg kompleks seperti bakteri, virus, dan antigen yg bersifat hapten.
Antigen TI mempunyai struktur sederhana dan berulang, biasanya merupakan molekul besar yg merangsang produksi IgM, Ig2, dan sel memori yg lemah.
Contoh antigen TI adalah polisakarida komponen endotoksin yg terdapat pada dinding sel bakteri, yg dapat mengaktivasi sel B memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B poliklonal.

Limfosit Th akan mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC kelas II serta molekul CD (Cluster Differentiation) penanda klonal sel.
Antigen setelah diproses oleh sel makrofag akan dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II dan CD kepada sel Th dan Tc sehingga terjadi ikatan antara antigen dengan reseptor sel T (TCR = T-Cell Receptor).
Akibat ikatan tersebut akan terjadi serangkaian aktivasi sel Th dan Tc yg menginduksi diferensiasi menjadi sel Th dan Tc efektor, serta sel Th dan Tc memori.
Sel imun efektor tersebut juga menghasilkan berbagai sitokin dan mediator yg mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun lainnya, misalnya sel Th efektor mengaktivasi makrofag dan sel Tc.

RESPONS IMUN HUMORAL
Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan antigen.
Mulanya imunoglobulin permukaan sel ini adalah kelas IgM dan IgD, kemudian pada perkembangan selanjutnya akan terdapat klonal sel limfosit B yg memperlihatkan kelas IgG, IgA, dan mungkin IgE pada individu atopi.
Perkembangan kelas imunoglobulin (regio Fc) tidak memerlukan rangsangan antigen tertentu, tetapi perkembangan regio penangkap antigen (Fab) membutuhkan pengenalan dan stimulasi antigen spesifik.

PAJANAN ANTIGEN PADA SEL B
Antigen akan berikatan dg imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan menginduksi aktivasi sel B menjalani rangkaian proses transformasi blast, proliferasi serta diferensiasi menjadi sel plasma (sel B matang penghasil imunoglobulin) dan sel B memori.
Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Produk antibodi spesifik tersebut akan berikatan dengan Ag untuk menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang atau membuat kompleks Ag-Ab sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag.
Fagositosis dapat melibatkan komplemen dalam proses opsonisasi untuk membantu penghancuran Ag.
Ikatan Ag-Ab juga mempermudah lisis oleh sel Tc dan peristiwa ini disebut Antibody Dependent Cellular Mediated Cytotoxicity (ADCC).

Selain produk Ig maka hasil akhir aktivasi sel B adalah  pembentukan sel memori yg kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
Hal inilah yg diharapkan pada imunisasi.
Walaupun sel plasma yg terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yg diperoleh dengan vaksinasi cukup tinggi mencapai kadar protektif dalam waktu cukup lama.
Kadar antibodi protektif ini dapat diperoleh ini dapat diperoleh  dan dipertahankan dengan vaksinasi ulang untuk memperoleh efek penguatan (boostering effect).

RESPONS ANTIBODI TERHADAP ANTIGEN
Respons imun primer adalah respons imun yg terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen.
Respons imun sekunder  terjadi pada pajanan serupa setelah itu.
Antibodi yg terbentuk pada respons imun primer terutama adalah IgM sedangkan sebagian besar antibodi pada respons imun sekunder adalah IgG, dengna titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih pendek.
Respons imun sekunder merupakan aktivitas memori imunologis spesifik.
Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yg kelak diharapkan akan memberi respons adekuat dan efektif bila terpajan pada antigen yg serupa.

MEMORI IMUNOLOGIS
Peran utama vaksinasi adalah untuk menimbulkan memori imunologis yg adekuat dan efektif.
Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal.
Antigen dan antibodi yg membentuk kompleks Ag-Ab akan berikatan dengan komplement (C) membentuk kompleks Ag-Ab-C.
Kompleks Ag-Ab-C dapat berikatan dengan sel dendrit folikel (FDC = Follicular Dendritic Cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel Dendrit.
Sel FDC ini akan mempresentasi dan mengaktivasi sel T dan sel B sehingga terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B membentuk sel plasma penghasil antibodi dan sel B memori.
Untuk mendapat sel B memori yg adekuat dan efektif maka vaksinasi harus mengikuti jalur infeksi alamiah dengan baik, dalam arti bahwa antigen yg dipergunakan harus dapat berikatan dengan sel dendrit folikel serta bersifat T-dependent.

Sel B memori akan berada di sirkulasi sedang sel plasma akan bermigrasi ke sumsum tulang.
Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid dan bertemu dengan antigen serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan antibodi lebih banyak dengan afinitas lebih tinggi.

Sel T memori dibentuk melalui beberapa tahapan.
Antigen ekstraselular akan diproses APC menjadi peptida yg akan dikenal oleh molekul MHC kelas II sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC kelas I.
Sel APC akan mempresentasikan antigen yg sudah diprosesnya pada sel limfosit T dalam kompleks molekul Ag-MHC-CD.
Kompleks Ag-MHC-CD akan dikenal kompleks molekul TCR-MHC-CD pada permukaan sel limfosit T di jaringan limfoid perifer sehingga sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan berbagai produk sitokin.
Sitokin tersebut merangsang proliferasi dan diferensiasi sel limfosit T menjadi sel efektor terhadap Ag spesifik dan sel T memori.
Sel T efektor akan bermigrasi dari jaringan limfoid ke tempat infeksi untuk mengeliminasi mikroorganisme penyebab infeksi, sedangkan sel T memori dalam bentuk tidak aktif berada di sirkulasi untuk jangka waktu yg lama.
Pajanan berikut terhadap antigen serupa akan mengaktifkan sel T memori menjadi sel T efektor.
Sel limfosit T CD4 memproduksi sitokin Th untuk mengaktifkan mekanisme eliminasi mikroba ekstraselular, sedangkan sel CD8 yg mempunyai fungsi sitolitik (CTL) akan memusnahkan mikroorganisme intrasel.

KEBERHASILAN IMUNISASI
STATUS IMUN PEJAMU
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Kemampuan tubuh untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap vaksin yg adekuat dan efisien sangat menentukan keberhasilan vaksinasi.
Kemampuan tersebut dapat terganggu antara lain oleh tingkat kemampuan respons imun atau oleh gangguan pengenalan antigen vaksin.
Gangguan pengenalan vaksin misalnya dapat terjadi karena masih terdapat antibodi maternal dalam sirkulasi bayi.
Antibodi terhadap virus campak pada bayi yg diperoleh melalui transmisi maternal semasa janin akan menetralisasi antigen vaksin campak sehingga hasil vaksinasi tidak memuaskan.
Tetapi kandungan antibodi sekretori sIgA antipolio dalam air susu ibu (ASI) tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yg diberikan secara oral.
Laporan penelitian Divisi Alergi-Imunologi Anak FKUI/ RSCM Jakarta menunjukkan bahwa kadar sIgA antipolio tinggi hanya terdapat pada kolostrum dan tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Karena itu pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir) sebaiknya ASI tidak diberikan dahulu dalam waktu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi polio oral.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik.
Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (Human Leucocyte Antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons kemotaktik yg masih kurang.
Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya.
Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.
Jadi vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yg kurang dibandingkan pada anak sehingga memerlukan imunisasi ulang dan imunisasi penguatan.

Status imun mempengaruhi hasil imunisasi.
Individu yg mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yg menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi.
Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut.
Demikian pula vaksinasi pada individu yg menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yg buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit.
Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah.
Meskipun kadar globulin gamma normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yg terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yg dibutuhkan untuk sintesis antibodi.
Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

FAKTOR GENETIK PEJAMU
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi.
Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yg tidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yg berada pada kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) dan gen non MHC.
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen.
Sel Tc akan mengenal antigen yg berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.
Sel Tc serta Th akan mengenal antigen yg berasosiasi dengan molekul MHC kelas II.
Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun.
Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yg berkaitan dengan gen tertentu misalnya agamaglobulinemia yg terangkai dengan kromosom X yg hanya terdapat pada anak laki-laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yg menunjukkan perbedaan respon imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yg diturunkan.
Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yg sebenarnya belum diketahui.

KUALITAS DAN KUANTITAS VAKSIN
Vaksin adlah mikroorganisme atau toksoid yg diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas dan toksisitasnya berkurang atau hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yg dipergunakan, dan jenis vaksin.

-Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yg timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.

-Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respon imun yg terjadi.
Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yg diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten.
Dosis yg tepat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yg direkomendasikan.

-Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yg terjadi.
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, dan produksi serta afinitas lebih tinggi.
Di samping frekuensi, jarak pemberian vaksin juga mempengaruhi respons imun yg terjadi.
Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi maka antigen yg masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yg masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten.
Bahkan dapat terjadi apa yg dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.
Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yg dianjurkan produsen vaksin sesuai dengan hasil uji klinis.

-Ajuvan adalah zat yg secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen.
Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan dan mengaktivasi sel APC (Antigen Presenting Cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yg akan mengaktifkan sel imunokompeten lainya.

-Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibandingkan vaksin mati atau yg diinaktivasi, atau vaksin komponen mikroorganisme.
Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yg terinfeksi karena itu dibutuhkan vaksin hidup.
Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi (dilemahkan) untuk menghasilkan organisme yg hanya dapat menimbulkan penyakit yg sangat ringan..

Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yg tinggi atau rendah, kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yg sudah ditanam selama 13 tahun.
Dapat pula dipakai mikroorganisme yg virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen misalnya virus cacar sapi

PERSYARATAN VAKSIN
Apabila dilihat dari sudut pandang mekanisme respons imun terhadap pajanan antigen maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu:
1.Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi sitokin.
2.Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori.
3.Mengaktivasi sel Th dan sel Tc terhadap beberapa epitop antigen untk mengatasi variasi respon imun yg ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.
4.Memberi antigen yg persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yg membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.

Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasi genetik dan respons imun yg diinginkan.
Vaksin yg memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin hidup.
Pada umumnya antibodi yg terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan.
Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yg dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin.

PEDOMAN IMUNISASI di INDONESIA
Bersambung ...
=======================================================================
www.sahabat-wangi.com/index.php?id=drfreddy
WA 081808395318
BBM 5376DABF
Email: federicomahora@outlook.com
http://freddyfragrance.blogspot.co.id/

Jangan lupa "Like" www.facebook.com/federicomahoraindonesia#

Mau Beli Parfum atau Jualan Juga?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar