![]() |
Mau Beli Parfum atau Jualan Juga? |
PII.1.3 ASPEK IMUNOLOGI IMUNISASI
Diketik ulang oleh Federico Mahora dari PEDOMAN IMUNISASI DI INDONESIA 2011, bab I.3 karya Prof. Dr. Corry Matondang, SpA (K)
Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia
tidak menjadi sakit.
Kekebalan yg diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan
pasif maupun aktif.
Imunisasi yg diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif
disebut imunisasi pasif dengan memberikan antibodi atau faktor kekebalan pada
seseorang yg membutuhkan.
Contohnya adalah pemberian imunoglobulin spesifik untuk
penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin antitetanus untuk penderita penyakit
tetanus.
Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan
dimetabolisme oleh tubuh, seperti misalnya pada kekebalan pasif alamiah
antibodi yg diperoleh janin dari ibu akan perlahan menurun dan habis.
Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi.
Imunisasi yg diberikan unuk memperoleh kekebalan aktif
disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yg disebut vaksin, dan
tindakan itu disebut vaksinasi.
Kekebalan yg diperoleh dengan vaksinasi berlangsung lebih
lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis walaupun tidak sebaik
kekebalan aktif yg terjadi karena infeksi alamiah.
Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yg
efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yg telah
ditentukan oleh produsen vaksin melalui bukti uji klinis yg telah dilakukan.
TUJUAN IMUNISASI
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut apda sekelompok masyarakat
(populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti yg kita lihat pada
keberhasilan imunisasi cacar variola.
Keadaan yg terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis
penyakit yg hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit
difteria dan poliomielitis.
RESPONS IMUN
Respons imun adalah respons sistem pertahanan tubuh berupa
urutan kejadian yg kompleks terhadap stimulasi antigen (Ag)yg bertujuan untuk
mengeliminasi antigen tersebut.
Pada dasarnya sistem pertahana tubuh dibedakan dalam sistem
imun nonspesifik dan spesifik.
Sistem imun nonspesifik disebut juga imunitas nonadaptif
atau innate immunity, artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen
tetapi untuk berbagai macam antigen.
Sistem imun spesifik atau imunitas adaptif ditujukan khusus
terhadap satu jenis antigen.
Imunitas adaptif akan membangjn memori imunologis dengan
membentuk sel memori sehingga pada kontak berikutnya dengan antigen yg sama
akan memproduksi antibodi lebih cepat dan lebih banyak.
Jalur aktivasi respons imun spesifik terdiri dari 2 fase,
yaitu fase afektor dan efektor.
Fase afektor atau pengenalan diperankan oleh sel yg
mempresentasikan antigen (APC), serta sel limfosit B dan limfosit T afektor yg
diaktivasi oleh antigen.
Fase efektor diperankan oleh antibodi imunoglobulin produk
sel limfosit B dan limfosit T efektor yg telah teraktivasi.
Bila pada kontak pertama pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yg pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
ditangkap oleh sel makrofag yg merupakan komponen imunitas nonspesifik dan
dipresentasikan pada sel limfosit T dan limfosit B yg merupakan komponen
imunitas spesifik.
Sel makrofag yg mempresentasikan antigen pada sel limfosit
disebut sebagai sel APC
(antigen-presenting cell).
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri dari imunitas selular
dan imunitas humoral.
Imunitas selular diperankan oleh kelompok sel limfosit T yg
merupakan sentral dari seluruh respons imun tubuh.
Sel limfosit T memproduksi sitokin dan mediator setelah
teraktivasi oleh stimulasi antigen.
Imunitas humoral merupakan aktivitas sel limfosit B yg
menghasilkan antibodi berupa imunoglobulin (Ig).
Imunoglobulin dibentuk oleh sel limfosit B oleh stimulasi
antigen yg mengaktivasi sel limfosit T terlebih dahulu (T-dependent antigen),
atau secara langsung oleh antigen tanpa melalui aktivasi sel limfosit T
(T-independent antigen).
Imunoglobulin dapat dipindahkan kepada individul lain
melalui imunisasi pasif dengan cara penyuntikan serum.
Imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui transfer
selular seperti contohnya pada transplantasi organ yg menimbulkan reaksi GRAFT
VERSUS-HOST-DISEASE.
KUALITAS RESPONS IMUN
Kualitas respons imun yg timbul tergantung pada faktor
intrinsik Ag dan faktor lain seperti,
-Jumlah dan dosis antigen.
-Cara pemberian antigen.
-Pada pemberian secara intradermal (ID), intramuskular (IM),
subkutan (SC) organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional, sedangkan
pemberian intravena (IV) sasaran berada di limpa, pemberian secara orang,
pemberiaan secara oral akan plaque Peyer’s, dan melalui inhalasi berada di
jaringan limfoid bronkial.
-Penambahan zat yg bekerja sinergis dengan antigen misalnya
konjugat, ajuvan, atau antigen lain.
-Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya
larutnya.
-Faktor genetik pejamu.
RESPONS IMUN SELULAR
Respons imun selular diperankan oleh populasi sel limfosit
Th (T-helper, CD4) dan limfosit Tc (T-cytotoxic, CD8).
Kelompok sel Th terdiri dari subpopulasi Th1 dan Th2.
Sel Th memerankan peran sentral dalam respons imun, dan bila
teraktivasi oleh antigen akan menginduksi aktivitas seluruh komponen sistem
imun.
Mekanisme induksi membutuhkan komunikasi antar sel yg
diperankan oleh sitokin, suatu produk sel imun yg teraktivasi oleh antigen.
Produk sitokin tersebut dapat membedakan subpopulasi Th1 dan
Th2.
Misalnya Th1 menghasilkan sitokin IL-2, IL-3, TNF-alpha dan
Th2 menghasilkan sitokin IL-4,IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13.
Sitokin Th1 menginduksi respons imun selular yg berperan
pada reaksi inflamasi pada penyakit infeksi, sepsis, dan reaksi
hipersensitivias tipe lambat.
Sitokin Th2 menginduksi respons imun humoral yg menghasilkan
imunoglobulin dan berperan pada inflamasi alergi.
Sel Tc dan sel Th berperan pada infeksi yg disebabkan oleh
mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan beberapa
bakteri.
Sel imun selular yg sudah mengenal antigen mikroorganisme
penyebab infeksi akan bereaksi secara spesifik.
Sel Th mengeluarkan sitokin untuk mengaktivasi proses
inflamasi yg bertujuan untuk mengeliminasi mikroorganisme.
Komponen sistem imun terpenting untuk tujuan tersebut adalah
imunitas humoral sehingga peran utama sel Th adalah membantu sel limfosit B
menghasilkan imunoglobulin.
Sel Th juga menginduksi sel Tc untuk bereaksi terhadap
antigen pada sel target.
Sel Tc mengenal struktur antigen tersebut yg dipresentasikan
bersama molekul MHC (Mayor Histocompatibility Complex) kelas I oleh APC.
Dengan induksi sel Th maka sel Tc akan melisis sel
terinfeksi yg mengekspresikan struktur antigen penyebab infeksi yg telah
dikenalnya.
Karena fungsi untuk melisis sel target tersebut maka sel Tc
disebut juga sebagai sel Cytotoxic T Lymphocyte (CTL).
Umumnya antigen bersifat T-dependent (TD), artinya antigen
akan merangsang sel imun afektor setelah mengaktivasi sel Th dengan bantuan sitokin dan mediator yg dilepaskan
sel Th yg teraktivasi tersebut.
Sedangkan antigen yg tidak memerlukan sel T (TI) secara
langsung merangsang sel limfosit B memproduksi imunoglobulin.
Antigen TD adalah antigen yg kompleks seperti bakteri,
virus, dan antigen yg bersifat hapten.
Antigen TI mempunyai struktur sederhana dan berulang,
biasanya merupakan molekul besar yg merangsang produksi IgM, Ig2, dan sel
memori yg lemah.
Contoh antigen TI adalah polisakarida komponen endotoksin yg
terdapat pada dinding sel bakteri, yg dapat mengaktivasi sel B memproduksi
antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B poliklonal.
Limfosit Th akan mengenal antigen bila dipresentasikan
bersama molekul produk MHC kelas II serta molekul CD (Cluster Differentiation)
penanda klonal sel.
Antigen setelah diproses oleh sel makrofag akan
dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II dan CD kepada sel Th dan Tc
sehingga terjadi ikatan antara antigen dengan reseptor sel T (TCR = T-Cell
Receptor).
Akibat ikatan tersebut akan terjadi serangkaian aktivasi sel
Th dan Tc yg menginduksi diferensiasi menjadi sel Th dan Tc efektor, serta sel
Th dan Tc memori.
Sel imun efektor tersebut juga menghasilkan berbagai sitokin
dan mediator yg mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun lainnya, misalnya
sel Th efektor mengaktivasi makrofag dan sel Tc.
RESPONS IMUN HUMORAL
Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan
berinteraksi dengan antigen.
Mulanya imunoglobulin permukaan sel ini adalah kelas IgM dan
IgD, kemudian pada perkembangan selanjutnya akan terdapat klonal sel limfosit B
yg memperlihatkan kelas IgG, IgA, dan mungkin IgE pada individu atopi.
Perkembangan kelas imunoglobulin (regio Fc) tidak memerlukan
rangsangan antigen tertentu, tetapi perkembangan regio penangkap antigen (Fab)
membutuhkan pengenalan dan stimulasi antigen spesifik.
PAJANAN ANTIGEN PADA SEL B
Antigen akan berikatan dg imunoglobulin permukaan sel B dan
dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan menginduksi aktivasi sel B
menjalani rangkaian proses transformasi blast, proliferasi serta diferensiasi
menjadi sel plasma (sel B matang penghasil imunoglobulin) dan sel B memori.
Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel
B tanpa bantuan sel Th.
Produk antibodi spesifik tersebut akan berikatan dengan Ag
untuk menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang atau membuat kompleks Ag-Ab
sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag.
Fagositosis dapat melibatkan komplemen dalam proses
opsonisasi untuk membantu penghancuran Ag.
Ikatan Ag-Ab juga mempermudah lisis oleh sel Tc dan
peristiwa ini disebut Antibody Dependent Cellular Mediated Cytotoxicity (ADCC).
Selain produk Ig maka hasil akhir aktivasi sel B adalah pembentukan sel memori yg kelak bila terpapar
lagi dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
Hal inilah yg diharapkan pada imunisasi.
Walaupun sel plasma yg terbentuk tidak berumur panjang,
kadar antibodi spesifik yg diperoleh dengan vaksinasi cukup tinggi mencapai
kadar protektif dalam waktu cukup lama.
Kadar antibodi protektif ini dapat diperoleh ini dapat
diperoleh dan dipertahankan dengan
vaksinasi ulang untuk memperoleh efek penguatan (boostering effect).
RESPONS ANTIBODI TERHADAP ANTIGEN
Respons imun primer adalah respons imun yg terjadi pada
pajanan pertama kalinya dengan antigen.
Respons imun sekunder
terjadi pada pajanan serupa setelah itu.
Antibodi yg terbentuk pada respons imun primer terutama
adalah IgM sedangkan sebagian besar antibodi pada respons imun sekunder adalah
IgG, dengna titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih pendek.
Respons imun sekunder merupakan aktivitas memori imunologis
spesifik.
Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yg kelak
diharapkan akan memberi respons adekuat dan efektif bila terpajan pada antigen
yg serupa.
MEMORI IMUNOLOGIS
Peran utama vaksinasi adalah untuk menimbulkan memori
imunologis yg adekuat dan efektif.
Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral
germinal.
Antigen dan antibodi yg membentuk kompleks Ag-Ab akan
berikatan dengan komplement (C) membentuk kompleks Ag-Ab-C.
Kompleks Ag-Ab-C dapat berikatan dengan sel dendrit folikel
(FDC = Follicular Dendritic Cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel
Dendrit.
Sel FDC ini akan mempresentasi dan mengaktivasi sel T dan
sel B sehingga terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B membentuk
sel plasma penghasil antibodi dan sel B memori.
Untuk mendapat sel B memori yg adekuat dan efektif maka
vaksinasi harus mengikuti jalur infeksi alamiah dengan baik, dalam arti bahwa
antigen yg dipergunakan harus dapat berikatan dengan sel dendrit folikel serta
bersifat T-dependent.
Sel B memori akan berada di sirkulasi sedang sel plasma akan
bermigrasi ke sumsum tulang.
Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid dan bertemu
dengan antigen serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi
seperti semula dengan menghasilkan antibodi lebih banyak dengan afinitas lebih
tinggi.
Sel T memori dibentuk melalui beberapa tahapan.
Antigen ekstraselular akan diproses APC menjadi peptida yg
akan dikenal oleh molekul MHC kelas II sedangkan Ag intraselular diproses di
sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC kelas I.
Sel APC akan mempresentasikan antigen yg sudah diprosesnya
pada sel limfosit T dalam kompleks molekul Ag-MHC-CD.
Kompleks Ag-MHC-CD akan dikenal kompleks molekul TCR-MHC-CD
pada permukaan sel limfosit T di jaringan limfoid perifer sehingga sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan berbagai produk sitokin.
Sitokin tersebut merangsang proliferasi dan diferensiasi sel
limfosit T menjadi sel efektor terhadap Ag spesifik dan sel T memori.
Sel T efektor akan bermigrasi dari jaringan limfoid ke
tempat infeksi untuk mengeliminasi mikroorganisme penyebab infeksi, sedangkan
sel T memori dalam bentuk tidak aktif berada di sirkulasi untuk jangka waktu yg
lama.
Pajanan berikut terhadap antigen serupa akan mengaktifkan
sel T memori menjadi sel T efektor.
Sel limfosit T CD4 memproduksi sitokin Th untuk mengaktifkan
mekanisme eliminasi mikroba ekstraselular, sedangkan sel CD8 yg mempunyai
fungsi sitolitik (CTL) akan memusnahkan mikroorganisme intrasel.
KEBERHASILAN IMUNISASI
STATUS IMUN PEJAMU
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor,
yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.
Kemampuan tubuh untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap
vaksin yg adekuat dan efisien sangat menentukan keberhasilan vaksinasi.
Kemampuan tersebut dapat terganggu antara lain oleh tingkat
kemampuan respons imun atau oleh gangguan pengenalan antigen vaksin.
Gangguan pengenalan vaksin misalnya dapat terjadi karena
masih terdapat antibodi maternal dalam sirkulasi bayi.
Antibodi terhadap virus campak pada bayi yg diperoleh
melalui transmisi maternal semasa janin akan menetralisasi antigen vaksin
campak sehingga hasil vaksinasi tidak memuaskan.
Tetapi kandungan antibodi sekretori sIgA antipolio dalam air
susu ibu (ASI) tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yg diberikan
secara oral.
Laporan penelitian Divisi Alergi-Imunologi Anak FKUI/ RSCM
Jakarta menunjukkan bahwa kadar sIgA antipolio tinggi hanya terdapat pada
kolostrum dan tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Karena itu pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama
dengan 3 hari setelah lahir) sebaiknya ASI tidak diberikan dahulu dalam waktu 2
jam sebelum dan sesudah vaksinasi polio oral.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik.
Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang terutama
fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (Human Leucocyte Antigen)
masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons
kemotaktik yg masih kurang.
Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih
rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya.
Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol
dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intra
uterin lebih ditekankan pada toleransi dan hal ini masih terlihat pada bayi
baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang.
Jadi vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yg kurang
dibandingkan pada anak sehingga memerlukan imunisasi ulang dan imunisasi
penguatan.
Status imun mempengaruhi hasil imunisasi.
Individu yg mendapat obat imunosupresan, menderita
defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yg menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi.
Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra
pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu
tersebut.
Demikian pula vaksinasi pada individu yg menderita penyakit
infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula
keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yg buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit.
Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah.
Meskipun kadar globulin gamma normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yg terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yg dibutuhkan untuk sintesis antibodi.
Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag
berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
FAKTOR GENETIK PEJAMU
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh
variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu
tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi.
Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan
vaksinasi yg tidak 100%.
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen
yg berada pada kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) dan gen non MHC.
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen.
Sel Tc akan mengenal antigen yg berasosiasi dengan molekul
MHC kelas I.
Sel Tc serta Th akan mengenal antigen yg berasosiasi dengan
molekul MHC kelas II.
Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat
dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun.
Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya
defisiensi imun yg berkaitan dengan gen tertentu misalnya agamaglobulinemia yg
terangkai dengan kromosom X yg hanya terdapat pada anak laki-laki atau penyakit
alergi yaitu penyakit yg menunjukkan perbedaan respon imun terhadap antigen
tertentu merupakan penyakit yg diturunkan.
Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam
respons imun, hanya saja mekanisme yg sebenarnya belum diketahui.
KUALITAS DAN KUANTITAS VAKSIN
Vaksin adlah mikroorganisme atau toksoid yg diubah
sedemikian rupa sehingga patogenisitas dan toksisitasnya berkurang atau hilang
tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yg dipergunakan, dan jenis vaksin.
-Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yg
timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal
di samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
-Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi
respon imun yg terjadi.
Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yg
diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten.
Dosis yg tepat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu
dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yg direkomendasikan.
-Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yg terjadi.
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder
menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, dan produksi serta afinitas lebih
tinggi.
Di samping frekuensi, jarak pemberian vaksin juga
mempengaruhi respons imun yg terjadi.
Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar
antibodi spesifik masih tinggi maka antigen yg masuk segera dinetralkan oleh
antibodi spesifik yg masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel
imunokompeten.
Bahkan dapat terjadi apa yg dinamakan reaksi Arthus yaitu
bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.
Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa
yg dianjurkan produsen vaksin sesuai dengan hasil uji klinis.
-Ajuvan adalah zat yg secara nonspesifik dapat meningkatkan
respons imun terhadap antigen.
Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan
antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan dan mengaktivasi sel APC
(Antigen Presenting Cells) untuk memproses antigen secara efektif dan
memproduksi interleukin yg akan mengaktifkan sel imunokompeten lainya.
-Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibandingkan vaksin mati atau yg diinaktivasi, atau vaksin komponen
mikroorganisme.
Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yg terinfeksi
karena itu dibutuhkan vaksin hidup.
Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi (dilemahkan)
untuk menghasilkan organisme yg hanya dapat menimbulkan penyakit yg sangat
ringan..
Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yg tinggi atau rendah, kondisi anaerob, atau
menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yg sudah
ditanam selama 13 tahun.
Dapat pula dipakai mikroorganisme yg virulen untuk spesies
lain tetapi untuk manusia avirulen misalnya virus cacar sapi
PERSYARATAN VAKSIN
Apabila dilihat dari sudut pandang mekanisme respons imun
terhadap pajanan antigen maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin,
yaitu:
1.Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi sitokin.
2.Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori.
3.Mengaktivasi sel Th dan sel Tc terhadap beberapa epitop
antigen untk mengatasi variasi respon imun yg ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC.
4.Memberi antigen yg persisten, mungkin dalam sel folikular
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang
sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yg membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja,
tergantung dari ada atau tidaknya variasi genetik dan respons imun yg
diinginkan.
Vaksin yg memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah
vaksin hidup.
Pada umumnya antibodi yg terbentuk akibat vaksinasi sudah
cukup untuk mencegah terjadinya infeksi sehingga pembentukan sel Tc terhadap
berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan.
Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yg dibutuhkan
adalah antibodi untuk netralisasi toksin.
PEDOMAN IMUNISASI di INDONESIA
Bersambung ...
=======================================================================
www.sahabat-wangi.com/index.php?id=drfreddy
WA
081808395318
BBM
5376DABF
Email:
federicomahora@outlook.com
http://freddyfragrance.blogspot.co.id/
Jangan
lupa "Like" www.facebook.com/federicomahoraindonesia#
![]() |
Mau Beli Parfum atau Jualan Juga? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar